Nilai dan Efek Mukjizat

Oleh: Ayatullah Murtadha Muthahhari

641Hadis H296Apa nilai mukjizat? Ahli logika dan ahli filsafat membagi materi yang digunakan untuk memperdebatkan urusan menjadi beberapa jenis. Sebagian argumen ada nilai tahkiknya. Argumen-argumen tersebut sangat kuat, seperti yang terjadi pada data yang digunakan ahli matematika. Sebagian argumen lainnya hanya memiliki nilai persuasif, seperti yang terjadi pada argumen-argumen yang diajukan ahli retorika. Namun sepanjang tidak dianalisis, argumen-argumen seperti itu ternyata sangat mengesankan. Sebagian argumen lainnya semata-mata emosional atau ada nilainya yang lain.

 

Nilai Mukjizat Menurut Al-Qur’an

Al-Qur’an Suci menggambarkan mukjizat para nabi sebagai tanda dan bukti yang kuat, dan memandangnya sebagai bukti yang meyakinkan dan logis tentang eksistensi Allah. Al-Qur’an Suci juga menganggap alam semesta sebagai bukti eksistensi-Nya yang tak terbantahkan. Al-Qur’an Suci membicarakan dengan saksama masalah mukjizat. Al-Qur’an memandang permintaan orang akan mukjizat dan ketaksudian mereka menerima nabi kecuali kalau mereka sudah menyaksikan mukjizatnya, dapat dibenarkan dan masuk akal, asalkan permintaan tersebut bukan untuk maksud-maksud tersembunyi atau sekadar iseng. Dengan fasih Al-Qur’an Suci membawakan banyak kisah tentang jawaban praktis para nabi terhadap permintaan-permintaan seperti itu. Al-Qur’an Suci tak pernah menunjukkan bahwa mukjizat hanyalah argumen persuasif yang cocok untuk orang bodoh dan untuk periode ketika manusia masih belum matang. Al-Qur’an Suci justru menyebut mukjizat sebagai bukti yang nyata. Baca lebih lanjut

Mukjizat Nabi Terakhir

Oleh: Ayatullah Murtadha Muthahhari

641Hadis H368Al-Qur’an Suci adalah mukjizat abadi Nabi terakhir saw. Mukjizat para nabi sebelumnya seperti Nabi Ibrahim as, Nabi Musa as dan Nabi Isa as—masing-masing Nabi ini mendapat Kitab suci dan juga memiliki mukjizat—tidak identik dengan Kitab-kitab suci mereka. Mereka melakukan perbuatan mukjizat seperti mengubah api yang berkobar menjadi “dingin dan damai”, mengubah tongkat kayu menjadi ular besar, dan menghidupkan orang mati. Jelaslah mukjizat-mukjizat ini sementara sifatnya. Namun untuk Nabi terakhir saw, Kitab sucinya itu sendiri merupakan mukjizatnya. Kitab sucinya merupakan bukti kenabiannya. Dengan demikian, mukjizat Nabi terakhir saw, tak seperti mukjizat yang lain, abadi sifatnya, bukan dimaksudkan hanya untuk sementara waktu.

Fakta bahwa Kitab suci (Al-Qur’an—pen.) merupakan mukjizat Nabi terakhir saw, sungguh selaras dengan zamannya, zaman kemajuan ilmu pengetahuan, budaya dan pendidikan. Keabadian Al-Qur’an Suci juga sesuai dengan keabadian pesannya yang tak akan pernah dicabut.

Dalam beberapa ayat Al-Qur’an dengan tegas disebutkan aspek supra-manusiawi dan luar biasa ini. Salah satunya mengatakan:

Dan jika hamu (tetap) dalam keraguan tentang Al-Qur’an yang Kami wahyukan hepada hamba Kami (Muhammad), buatlah satu surah (sajaj yang semisal Al-Qur’an itu. (QS. al-Baqarah: 23)

Al-Qur’an juga dengan jelas menyebutkan beberapa mukjizat lain Nabi terakhir saw. Al-Qur’an Suci berbicara panjang lebar mengenai sejumlah masalah yang berkaitan dengan mukjizat. Al-Qur’an menyatakan bahwa risalah Allah SWT harus disertai mukjizat, bahwa mukjizat merupakan bukti kuat dan pasti, bahwa nabi dapat melakukan perbuatan mukjizat atas kehendak Allah dan untuk membuktikan kebenaran pernyataannya, dan bahwa nabi tidak harus mengabulkan setiap permintaan orang akan mukjizat. Dengan kata lain, nabi tidak diharapkan memamerkan mukjizat atau memproduksi mukjizat. Baca lebih lanjut

Satu Agama atau Banyak Agama

Oleh: Ayatullah Murtadha Muthahhari

641Hadis H526Dari sudut pandang Al-Qur’an, dari awal hingga akhir, hanya ada satu agama Tuhan. Semua nabi, terlepas dari fakta apakah mereka memiliki syariat sendiri atau tidak, memiliki misi yang sama dan mendakwahkan risalah yang sama. Prinsip-prinsip dasar mereka yang disebut agama adalah sama. Ajaran-ajaran mereka hanya berbeda dalam soal hukum dan masalah-masalah subsider yang nilai pentingnya sekunder. Hukum dan masalah subsider ini beragam sesuai dengan kebutuhan zaman, keadaan lingkungan dan sifat khas masyarakat yang didakwahi para nabi ini. Sekalipun bentuk ajaran-ajaran mereka berbeda, namun semua nabi memvisualisasikan satu tujuan yang sama. Di samping berbeda bentuk, juga berbeda tataran.

Nabi-nabi yang diutus belakangan, ajaran-ajaran mereka lebih tinggi tingkat keselarasannya dengan tahap perkembangan manusia. Misal, ada perbedaan yang besar pada tataran ajaran Islam dan nabi-nabi sebelumnya dalam hal asal-usul manusia, akhirat dan konsepsi tentang dunia. Dengan kata lain, manusia dalam kaitannya dengan ajaran para nabi adalah laksana siswa yang secara bertahap naik dari kelas satu ke kelas yang paling tinggi. Proses ini menunjukkan perkembangan agama, bukan perbedaan agama. Al-Qur’an Suci tidak menggunakan kata “agama” dalam bentuk jamak. Dari sudut pandang Al-Qur’an Suci, yang ada adalah satu agama, bukan banyak agama. Ada perbedaan yang besar antara nabi dari filosof besar dan pemimpin masyarakat terkemuka. Filosof besar memiliki mazhabnya sendiri. Itulah sebabnya di dunia ini selalu ada sedemikian banyak mazhab filsafat. Sedangkan para nabi, mereka justru selalu saling membenarkan atau memperkuat dan tak pernah saling bertentangan. Seandainya seorang nabi hidup di zaman dan di lingkungan nabi yang lain, tentu dia akan mendakwahkan juga norma hukum dan norma perilaku yang didakwahkan oleh nabi yang lain itu. Baca lebih lanjut

Tujuan Kenabian

Oleh: Ayatullah Murtadha Muthahhari

641Hadis H054Setelah sedikit banyak menjelaskan peran para nabi dalam perkembangan sejarah, sekarang kita bahas masalah yang lain: Apa maksud pokok atau tujuan final diutusnya para nabi dan diturunkannya kitab-kitab suci? Secara umum dapat dikatakan bahwa maksud pokoknya adalah membimbing, menyelamatkan, dan menyejahterakan umat manusia.

Tak syak lagi bahwa nabi diutus untuk membimbing manusia ke jalan lurus dan menyelamatkan jiwa manusia. Namun bukan begitu pokok persoalannya. Pokok persoalannya adalah seperti apa tujuan final tersebut, suatu arah yang dituju oleh jalan lurus ini. Menurut mazhab para nabi, seperti apa kesejahteraan manusia tersebut? Mazhab nabi ini mau membebaskan manusia dari kesukaran dan rintangan. Kesukaran dan rintangan seperti apa yang dimaksud oleh mazhab ini. Menurut mazhab ini, bagaimana wujud kesejahteraan dan kebaikan puncak itu?

Dalam beberapa ayat Al-Qur’an Suci, pokok persoalan ini ada yang dipaparkan dengan jelas, ada juga yang hanya diisyaratkan saja. Al-Qur’an Suci menyebutkan dua pokok persoalan yang merupakan maksud pokok kenabian. Sebelum sampai pada dua pokok persoalan tersebut, disebutkan terlebih dahulu ajaran-ajaran para nabi. Dua pokok persoalan tersebut adalah: (1) mengenal Allah dan mendekat kepada-Nya (2) menegakkan keadilan dalam masyarakat. Al-Qur’an Suci memfirmankan:

Wahai Nabi, sesungguhnya Kami mengutusmu untuk jadi saksi dan pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan. Dan untuk jadi penyeru ke agama Allah dengan izin-Nya, dan untuk jadi cahaya yang menerangi (QS. al-Ahzâb: 45-46) Baca lebih lanjut

Peran Historis Nabi

Oleh: Ayatullah Murtadha Muthahhari


641Hadis H631Apakah para nabi mempunyai peran dalam gerakan sejarah? Kalau punya, bagaimanakah peran itu? Apakah peran itu positif atau negatif?

Kaum anti-agama pun mengakui bahwa para nabi memiliki peran yang efektif dalam sejarah. Di masa lalu mereka merepresentasikan sumber kekuatan nasional yang fantastis. Di zaman dahulu kekuatan nasional tersebut beda dengan hubungan darah, hubungan suku, perasaan patriotis, atau beda dengan kecenderungan agama dan ikatan doktrin. Kepala suku dan kepala bangsa mewakili kecenderungan pertama, sedangkan nabi dan pemimpin agama mewakili kecenderungan kedua. Ada dua pandangan mengenai fakta bahwa nabi merupakan sebuah kekuatan yang terbentuk berkat pengaruh agamanya. Namun demikian, ada beberapa pendapat mengenai efektivitas kekuatan ini:

Pertama: Segolongan orang, dalam tulisan mereka, pada umumnya mengatakan bahwa karena nabi memiliki pandangan spiritual dan anti-temporal, maka perannya negatif. Menurut mereka, poin utama ajaran nabi adalah menolak dunia, berkonsentrasi kepada akhirat, melakukan introspeksi dan meninggalkan realitas sekitar. Itulah sebabnya mengapa kekuatan agama dan nabi, yang menjadi simbol kekuatan ini, selalu mendorong orang untuk tidak peduli kepada kehidupan dunia, dan menghambat kemajuan. Jadi, dalam sejarah, peran nabi selalu negatif. Inilah pandangan yang pada umumnya dikemukakan oleh orang-orang yang mengaku berpikiran luas. Baca lebih lanjut

Wahyu dan Kenabian

Oleh: Ayatullah Murtadha Muthahhari

Petunjuk Universal

Dari konsepsi tauhid tentang dunia dan manusia lahir keyakinan kepada wahyu dan kenabian. Kalau meyakini wahyu dan kenabian, maka meyakini pula universalitas petunjuk Allah. Prinsip petunjuk universal merupakan bagian dari konsepsi tauhid tentang dunia, dan konsepsi ini diajukan oleh Islam. Karena Allah SWT wajib ada sendiri dalam setiap hal dan Maha Pemurah, maka Dia memberikan karunia-Nya kepada setiap wujud sesuai dengan kemampuan masing-masing wujud, dan membimbing setiap wujud dalam perjalanan evolusionernya. Yang dibimbing oleh Allah adalah segala sesuatu, dari partikel yang sangat kecil sampai bintang yang sangat besar, dan dari wujud tak bernyawa yang paling rendah sampai wujud bernyawa yang paling tinggi yang kita ketahui, yaitu manusia. Itulah sebabnya Al-Qur’an Suci menggunakan kata “wahyu” dalam hubungannya dengan bimbingan untuk wujud inorganis, tanaman dan binatang. Penggunaan kata “wahyu” ini persis seperti ketika Al-Qur’an Suci menggunakannya dalam hubungannya dengan bimbingan untuk manusia.

Di dunia ini tiap-tiap sesuatu senantiasa bergerak. Tiap-tiap sesuatu selalu bergerak menuju tujuannya. Pada saat yang sama, semua indikasi menunjukkan bahwa tiap-tiap sesuatu didorong menuju ke tujuannya oleh suatu kekuatan misterius yang ada di dalam dirinya. Kekuatan ini disebut petunjuk atau bimbingan Allah. Al-Qur’an Suci menyebutkan bahwa Nabi Musa as berkata kepada Fir’aun pada masanya, yang artinya sebagai berikut: Baca lebih lanjut

Kearifan dan Keadilan Ilahi

Oleh: Ayatullah Murtadha Muthahhari

Dalam hubungannya dengan konsepsi Ilahiah tentang dunia, dalam ilmu ketuhanan dibahas beberapa masalah tentang hubungan antara Allah dan dunia, seperti apakah dunia ini, sementara atau abadi, dari manakah asal segala sesuatu yang ada ini. Juga dibahas masalah-masalah lain seperti itu. Namun, kalau melihat keseimbangan segenap eksistensi, maka dapat dikatakan di sini bahwa masalah-masalah kearifan dan keadilan ilahi saling berkaitan erat. Kalau merujuk kepada masalah keadilan Ilahi, maka dapat dikatakan bahwa sistem dunia yang ada ini merupakan sistem yang paling arif dan adil. Dasar sistem ini bukan saja pengetahuan, kesadaran dan kehendak. Sistem ini juga merupakan sistem yang paling baik dan sehat. Tak mungkin ada sistem lain yang lebih baik daripada sistem ini. Dunia yang ada ini merupakan yang paling sempurna. Baca lebih lanjut

Zuhud dan Kehidupan Dunia

Oleh: Ayatullah Murtadha Muthahhari

“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada sesuatu yang memberi kehidupan kepada kamu.”[1]

Ayat ini menegaskan bahwa ajaran Islam secara keseluruhan menganugerahkan kehidupan dalam semua aspeknya kepada manusia. Ajaran Islam yang telah bersemayam dalam jiwa seseorang akan memberikan semangat, kehidupan, penglihatan, dan gerakan. Atas dasar itu, ajaran yang tidak memberikan pengaruh hidup, bahkan menimbulkan kematian, menghilangkan penglihatan dan gerakan, serta membekukan pemikiran manusia, bukan ajaran yang dimaksud dalam kandungan ayat di atas, dan juga bukan berasal dari ajaran Islam.

Al-Quran menegaskan bahwa ajaran Islam adalah ajaran yang memberikan spirit kehidupan, dan sejarah Islam telah memberikan kesaksian tentangnya. Selama berabad-abad, sejarah Islam telah menunjukkan bagaimana ajaran ini memberikan spirit kehidupan seperti yang diungkapkan al-Quran.

Dewasa ini, seringkali kita saksikan bagaimana pengertian dan konsep Islam yang kita miliki tidak memberikan atau menciptakan kehidupan. Kita harus memperbaiki pandangan kita sehubungan dengan pengertian dan konsep ini. Barangkali kita keliru dalam menggambarkan dan memahami konsep serta ajaran Islam. Pola pikir kita harus segera diperbaiki. Inilah yang dimaksud dengan menghidupkan kembali pemikiran Islam. Pola pikir dan cara pandang kita terhadap Islam harus dibenahi. Perspektif yang kita gunakan selama ini untuk meneropong Islam bukanlah perspektif yang benar. Dengan begitu, perspektif dan pola pemikiran kita harus segera diperbaiki. Baca lebih lanjut

Zuhud dalam Perspektif Islam

Oleh: Ayatullah Murtadha Muthahhari

Salah satu ajaran Islam yang memberikan kehidupan adalah konsep kezuhudan. Namun, boleh dikatakan bahwa dewasa ini kezuhudan tampil dalam maknanya yang mati, atau menyimpang serta berubah dari makna aslinya.

Dalam pertemuan sebelumnya, telah saya sampaikan dua macam pengertian zuhud. Kedua pengertian tersebut ternyata tidak relevan dengan ajaran Islam. Arti zuhud adalah perasaan puas dengan kehidupan yang serba sederhana dalam hal makan, berpakaian, dan bertempat tinggal. Dalam semua aspek kehidupannya, orang zuhud akan merasa puas dengan kehidupan yang serba sederhana.

Namun, perbuatannya tersebut harus dilakukan berdasarkan hikmah dan filosofi tertentu, bukan berdasarkan keyakinan bahwa urusan dunia terpisah dari urusan akhirat. Juga bukan didasari pengertian bahwa kenikmatan duniawi dan ukhrawi bersifat kontradiktif dan saling bertolak belakang satu sama lain. Orang menjalani kezuhudan (hidup dalam kesederhanaan) dikarenakan kondisi dan keadaan tertentu yang di hadapinya —sebagaimana yang telah saya kemukakan, hal ini berhubungan dengan masalah mementingkan orang lain (îtsâr). Baca lebih lanjut

Sejarah Penyimpangan Pemikiran Islam

Oleh: Ayatullah Murtadha Muthahhari

Kajian kita kali ini masih berkenaan dengan upaya untuk menghidupkan pemikiran Islam. Para reformis dan para pemikir besar Islam yang hidup pada abad terakhir, sangat menaruh perhatian besar terhadap masalah ini. Saat ini, cara berpikir mayoritas kaum muslimin terhadap Islam mengalami banyak penyimpangan. Minggu lalu, saya telah menyampaikan bagaimana suatu aliran pemikiran atau aksi yang pada dasarnya hidup diterima oleh masyarakat. Boleh jadi suatu aliran pada dasarnya memberikan kehidupan, namun diapresiasi oleh masyarakat melalui cara berpikir yang keliru.

Atas dasar itu, saya akan menyatakan bahwa penyimpangan pola pikir kaum muslimin dewasa ini terhadap Islam berhubungan erat dengan cara mereka menerima ajaran Islam. Jika hendak menelaah pola pikir semacam ini, kita harus berperan sebagai seorang dokter. Hal pertama yang akan dilakukan seorang dokter adalah mendiagnosis pasien guna mengetahui jenis penyakit apa yang dideritanya. la akan menanyakan kepada pasien tentang apa yang dilakukan sebelumnya, gejala-gejala apa yang dirasakannya, dan bagaimana keadaan sebelumnya. Upaya-upaya ini dilakukan untuk menentukan jenis penyakit apa yang dideritanya. Baru setelah itu ia melakukan pengobatan terhadap pasiennya. Baca lebih lanjut

Semangat Pemikiran Islam

Oleh: Ayatullah Murtadha Muthahhari

“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada sesuatu yang memberi kehidupan kepada kamu.”[1]

Mengenang Pemikir Muhammad Iqbal

Topik kajian yang sebelumnya telah saya siapkan untuk pertemuan ini, yang bertepatan dengan hari Arbain (peringatan 40 hari syahadahnya Imam Husain as) adalah “berhubungan dengan para syuhada”.Penyajian hal ini juga saya pikir sangat mengena mengingat pada hari ini telah terjadi dua peristiwa penting dalam sejarah. Dua buah peristiwa yang menjadi penyebab terjadinya acara peringatan Arbain.

Salah satunya adalah sejarah masuknya penziarah resmi pertama ke makam Imam Husain as, Karbala, yang datang dari Madinah, yakni Jabir bin Abdullah al Anshori. Dan peristiwa lainnya yang berkenaan dengan diresmikannya ziarah kepada Imam Husain pada hari ini. Banyak riwayat yang menganjurkan untuk berziarah ke makam Imam Husain pada hari Arbain. Hari Arbain merupakan hari yang dikhususkan untuk berziarah kepada Imam Husain as.

Kedatangan Jabir bin Hayyan untuk berziarah ke pusara suci Imam Husain as, ataupun berziarah kepada beliau as dari jarak jauh dengan membaca doa ziarah sebagaimana yang dianjurkan dalam berbagai riwayat, bertujuan untuk “menjalin hubungan” dengan para syuhada. Baca lebih lanjut

Pandangan Dunia

Oleh: Ayatullah Murtadha Muthahhari

Salah satu pembahasan yang amat signifikan berkenaan dengan “Pandangan Alam Semesta” (ar-Ru’yah al-Kauniah) adalah kebenaran dan kebatilan di alam semesta, dan kebenaran dan kebatilan dalam masyarakat dan sejarah.

Namun, pembicaraan kita sekarang ini akan lebih terfokus pada topik yang kedua. Kendati nantinya, topik pertama yang berkaitan dengan kebenaran dan kebatilan di alam semesta akan dibahas pula secara singkat.

Kebenaran dan Kebatilan di Alam Semesta

Apakah sistem yang berlaku di jagat alam ini merupakan sistem yang hak (benar)? Sistem yang tepat? Sistem yang seharusnya? Apakah segala sesuatu yang ada di alam semesta ini telah berada pada orbimya masing-masing? Ataukah tidak demikian adanya; sistem ini bersifat batil (tidak benar)? Mungkinkah sistem yang ada di alam ini bersifat batil? Apakah terdapat sesuatu yang semestinya tidak tercipta? Apakah keberadaan sistem ini hanya sia-sia belaka dan tidak memiliki tujuan? Dalam menghadapi rentetan pertanyaan ini, juga berbagai pertanyaan lain yang mirip dengannya, para ulama dan cendekiawan terbagi ke dalam beberapa golongan; sebagian mendukung pandangan pertama, sebagian lainnya mendukung yang kedua, dan sekelompok lainnya memiliki pandangan alternatif yang berbeda dengan keduanya. Para filosof, yang sebagian besar menganut paham Materialisme, memiliki persangkaan yang buruk terhadap keberadaan alam semesta (termasuk terhadap keberadaan manusia). Mereka beranggapan, seluruh yang ada di jagat alam merupakan sesuatu yang tidak semestinya ada, tidak layak tercipta, buta, tuli, dan keberadaannya hampa akan tujuan. Baca lebih lanjut

Tingkatan Kemusyrikan

Oleh: Ayatullah Murtadha Muthahhari

Bukan saja tauhid yang terdapat tingkatannya, kemusyrikan juga ada tingkatannya. Kalau kita membandingkan keduanya, kita dapat lebih mengetahui tauhid maupun kemusyrikan. Karena mem­bandingkan dua hal yang berseberangan tersebut, maka kita dapat menjelaskannya. Sejarah memperlihatkan bahwa eksistensi beragam kemusyrikan selalu menandingi tauhid yang diajarkan oleh para nabi.

Percaya Pluralitas Zat Tuhan

Bangsa-bangsa tertentu memiliki kepercayaan kepada dua (dualisme), tiga (trinitas) atau lebih dari sumber kreatif dan abadi yang satu sama lain saling mandiri. Mereka percaya bahwa dunia ini memiliki banyak kutub dan banyak pusat. Dari mana sumber gagasan-gagasan seperti itu? Apakah masing-masing gagasan ini mencerminkan kondisi sosial masyarakat bersangkutan. Misal, ketika orang mempercayai dua sumber kreatif dan abadi serta dua orbit orisinal dunia, masyarakat mereka terbagi menjadi dua bagian yang berlainan, dan ketika orang mempercayai tiga sumber dan tiga Tuhan, sistem sosial mereka trilateral. Dengan kata lain, dalam setiap kasus, sistem sosial tersebut tecermin pada pikiran masyarakat dalam bentuk doktrin. Apakah juga merupakan fakta bahwa para nabi mengajarkan tauhid hanya ketika pusat sistem sosial cenderung satu? Baca lebih lanjut

Manusia dan Penyatuan

Oleh: Ayatullah Murtadha Muthahhari

Penyatuan realitas eksistensi manusia dalam sebuah sistem psikologis yang selaras dengan kecenderungan manusiawi dan evolusionernya, dan begitu juga penyatuan masyarakat manusia dalam sebuah sistem sosial yang harmonis dan evolusioner, merupakan dua hal yang selalu saja menarik perhatian manusia. Kebalikan dari penyatuan adalah polarisasi personalitas individual dan keterbagian personalitas tersebut menjadi segmen-segmen yang saling berselisih, dan terbagi-baginya masyarakat menjadi kelompok-kelompok dan kelas-kelas yang saling bertentangan. Masalahnya adalah: bagaimana caranya agar personalitas individual berkembang harmonis, baik dari segi kejiwaan maupun dari segi sosial? Dalam hal ini ada tiga teori: teori materialistis, teori idealistis, dan teori realistis. Baca lebih lanjut