Eksistensi Tuhan dan Fenomena Mukjizat [Terakhir]

Oleh: Mohammad Adlany

Implikasi Mukjizat Terhadap Kenabian

Persoalan pertama yang muncul berkaitan dengan implikasi mukjizat terhadap kenabian adalah apa yang sebenarnya ingin kita buktikan dengan mukjizat, apakah dengan mukjizat kita berargumentasi tentang pelaku mukjizat (baca: Nabi), ataukah kita berdalil tentang kebenaran ajaran Nabi, ataukah yang kita inginkan adalah kedua-duanya? Dalam hal ini, tidak ada fokus dan kejelasan pandangan dari para pemikir dan teolog Barat.

David Hume menyatakan bahwa orang-orang beriman berargumentasi dengan mukjizat berhubungan dengan risalah sang penyelamat (Isa Al-Masih As)[1]. Thomas Aquinas dan Jhon Lock keduanya beranggapan bahwa mukjizat berimplikasi terhadap kebenaran ajaran dan risalah keimanan dan lebih khusus lagi berhubungan dengan dimensi kebenaran ajaran yang diperdebatkan oleh agama-agama, dengan bersandar pada anggapan itu mereka berkata bahwa ajaran Kristen tentang ketuhanan Masehi ditetapkan dengan perantaraan mukjizatnya.

Perspektif tersebut dapat menjadikan mukjizat sebagai argumen atas kebenaran ajaran dan risalah salah satu aliran khusus, dan pandangan tersebut kurang lebih masih terus dianut oleh teolog tradisional Barat. Sebagai contoh, Richard Swinburne menyatakan bahwa dengan perantaraan mukjizat istimewa (terkhusus) Nabi Isa As dua ajaran Kristen bisa dibuktikan, diantaranya: pertama, penegasan reinkarnasi Tuhan dalam diri Isa Al-Masih As dan kedua, penolakan tentang kenabian terakhir untuk Nabi Muhammad saaw. Ini berarti bahwa mukjizat beliau dipahami sebagai dalil terhadap kebenaran ajarannya[2]. Richard Purtiil dan William Poly (1743-1805 M) bersandar pada mukjizat Isa Al-Masih As untuk membuktikan kebenaran ajaran Kristen atas agama-agama yang lain.

Dalam masalah tersebut, Richard Swinburne dalam beberapa risalahnya menegaskan bahwa implikasi mukjizat adalah menetapkan kenabian sang pembawa mukjizat. Ia berkata, “Ajaran dan pengajaran para Nabi sangat penting dan bermanfaat untuk kehidupan manusia, tetapi jalan untuk menegaskan kebenaran ajaran mereka tiada lain adalah bertemu langsung dengannya dan mendengar perkataan-Nya (wahyu), sementara sekarang ini mustahil memiliki keduanya (wahyu dan Nabi). Bukti dan dalil untuk membuktikan sang pembawa wahyu – menurut Thomas Aquinas telah ditetapkan oleh majelis Vatikan – sangatlah beragam, inti semua dalil tersebut terfokus pada pembuktian dan penerimaan mukjizat.[3]

Berdasarkan pandangan teolog Kristen tersebut kita tidak dapat menyatakan bahwa mukjizat hanya berimplikasi terhadap penegasan kenabian saja, bahkan juga berhubungan dengan kebenaran ajaran dan risalah sang pelaku mukjizat. Tetapi para teolog Muslim secara mendasar hanya membatasi implikasi mukjizat kepada kebenaran kenabian dan bukan pembuktian kebenaran risalahnya. Karena menurut mereka tidak ada hubungan antara satu perbuatan ajaib (mukjizat) dan kebenaran ajaran seseorang yang melakukan perbuatan yang luar biasa tersebut, dan jika kita ingin mengetahui  kebenaran inti ajarannya langkah pertama yang mesti  kita lakukan adalah membuktikan kenabian orang tersebut dan setelah itu menegaskan nilai-nilai seperti kejujuran, ketulusan dan keterjagaannya dari dosa dan kesalahan (al-‘Ishmah).

 

Penjabaran Implikasi Mukjizat Terhadap Kenabian

Bagaimana implikasi mukjizat terhadap kenabian? Apakah terdapat hubungan logikal dan rasional antara mukjizat dengan kebenaran pernyataan kenabian? Apakah implikasi mukjizat semata-mata sebuah penyingkapan yang bersifat personal dan relatif yang dihasilkan dari pengalaman-pengalaman dan kondisi-kondisi khusus seseorang atas perkara mukjizat yang kemudian berujung kepada kepercayaan dan keyakinannya atas suatu ajaran agama? Apakah mukjizat (yang berhubungan dengan ajaran agama) itu sendiri merupakan dalil dan bukti yang kuat dibandingkan dengan burhan (argumen) rasional?

Persoalan-persoalan yang tersebut di atas kurang lebih merupakan masalah mendasar dalam kaitannya dengan implikasi mukjizat. Seseorang yang beranggapan bahwa terdapat hubungan logikal antara mukjizat dengan kebenaran pernyataan kenabiaan tidak mesti menolak implikasi-implikasi yang lain. Titik sentral yang menjadi subyek perdebatan adalah hubungan logikal dan rasional antara mukjizat dengan wahyu. Oleh karena itu, untuk menghindari panjangnya pembahasan, pengkajian ini akan lebih difokuskan pada hubungan logikal dan rasional antara mukjizat dengan wahyu (baca: kebenaran pernyataan kenabian). Di bawah ini kita akan mengutip beberapa pandangan para teolog Barat dan teolog Muslim yang berhubungan dengan masalah-masalah tersebut.

 

Hubungan Rasional antara Mukjizat dan Wahyu menurut Teolog Barat

Dalam perspektif teologi tradisional Kristen, menurut penjelasan Thomas Aquinas dan doktrin gereja Katolik serta keputusan pertama majelis Vatikan, mukjizat merupakan dalil dan bukti kuat atas kebenaran wahyu. Pandangan tersebut masih terus dianut oleh beberapa pemikir dan teolog Kristen seperti, William Poly, Richard Purtiil dan Richard Swinburne.[4]

Dalam hal tersebut, Richard Swinburne berusaha melakukan pemetaan atas masalah tersebut secara serius, ia berupaya menegaskan adanya hubungan logikal dan rasional antara mukjizat dengan kebenaran pernyataan kenabian (wahyu). Penegasan dan penetapan ia secara ringkas dapat disebutkan di bawah ini:

1. Kita telah membuktikan dan meyakini eksistensi Tuhan dengan salah satu dalil dan argumen semisal keteraturan alam;

2. Dengan kaidah-kaidah filsafat kita bisa membuktikan ilmu dan kekuatan (kekuasaan) mutlak Tuhan dan begitupula kita dapat memahami kaidah-kaidah universal tentang akhlak;

3. Manusia tidak mengetahui hakikat dan substansi perkara-perkara dalam kehidupannya, sementara perkara-perkara tersebut tidak dapat diketahui dengan ilmu pengetahuan dan filsafat, perkara-perkara tersebut antara lain: hakikat alam, kedudukan manusia di alam, cara hiudp manusia di alam, cara meraih hidayah dan rahmat Tuhan, cara beribadah kepada Tuhan, hakikat kehidupan setelah mati (alam akhirat) dan bagaimana bisa menggapai kebahagiaan abadi di alam akhirat …;

4. Berdasarkan kebijaksanaan (hikmah), kekuasaan, ilmu dan kasih sayang Tuhan manusia niscaya diberi petunjuk dan hidayah untuk kemaslahatannya, dan petunjuk Tuhan dalam hal ini adalah wahyu yang disampaikan lewat para Nabi dan Rasul-Nya;

5. Tak ada jalan untuk membuktikan dan menegaskan kebenaran perkataan para Nabi dan Rasul kecuali meyakini dan mempercayai bahwa segala perkataan dan ucapan mereka adalah wahyu. Tetapi bagaimana mempercayai bahwa perkataan mereka adalah wahyu?

Menurut Richard Swinburne kita dapat mengkategorikan ucapan dan perkataan mereka sebagai wahyu jika memenuhi berbagai persyaratan (dimana mukjizat sebagai salah satu syaratnya) di bawah ini:

  1. Substansi ajaran para Nabi tidak boleh bertolak belakang dengan kenyataan yang kehidupan dan hukum-hukum ajarannya mesti sesuai dengan kaidah-kaidah akhlak;
  2. Sebagian ajaran-ajarannya secara mendasar dapat dikaji dan dianalisa berdasarkan tolok ukur akal manusia, jadi nilai validitasnya ditentukan oleh akal;
  3. Dalam ajarannya mesti terdapat suatu ramalan yang tidak dapat dilakukan oleh manusia dan juga tergolong sebagai suatu perkara yang bertolak belakang dengan hukum alam;
  4. Kehidupan para Nabi dan Rasul dalam beberapa hal dapat dikategorikan sebagai perkara yang bertolak belakang dengan hukum-hukum alam sehingga dapat melahirkan keyakinan atas kebenaran ajaran yang disampaikannya.          

Sebenarnya tujuan Richard Swinburne adalah – jika memenuhi syarat-syarat tersebut – menunjukkan bahwa mukjizat merupakan perwujudan dan perbuatan Tuhan, mungkin karena inilah ditetapkan bahwa mukjizatnya sang Nabi adalah perbuatan khusus Tuhan dan sekaligus merupakan pengakuan dan peresmian sebagai utusan-Nya. Oleh karena itu, menurut Swinburne jika terdapat seluruh syarat-syarat di atas pada diri seseorang maka dapat dijadikan bukti dan dalil akan kenabiaannya. Implikasi mukjizat tersebut ia jelaskan dalam contoh sebagai berikut: misalnya seorang yang mengaku sebagai pembawa pesan dari seorang raja yang berkuasa di negara yang sangat jauh tempatnya, kita bisa membenarkan pernyataannya kalau kandungan pesannya berhubungan dengan sebuah ramalan tentang suatu kejadian dimana informasi tentang ramalan itu hanya bisa diperoleh dari seseorang yang dekat dengan raja tersebut.

Menurut Swinburne, dimensi pertentangan mukjizat dengan hukum alam dengan perantaraan utusan Tuhan adalah merupakan alamat dan tanda khusus yang hanya diperuntukkan bagi semua utusan-Nya, dan kalau pengertiannya tidak seperti itu – yakni mukjizat bukan tanda dan alamat kebenaran pelaku mukjizat – maka mesti dimaknakan bahwa Tuhan Yang Maha Mengetahui tentang kebaikan mutlak tidak memberi petunjuk dan hidayah (dalam bentuk wahyu) kepada manusia untuk kesempurnaan dan kebaikannya.[5]

Argumentasi Richard Swinburne bergantung pada pembuktian tentang mukjizat tidak dapat diuraikan secara ilmiah dan mukjizat adalah perbuatan Tuhan. Maka dari itu, menjadi sasaran pertanyaan tentang bagaimana kita bisa meyakini bahwa peristiwa mukjizat tersebut mustahil dijabarkan secara ilmiah dan merupakan perbuatan langsung Tuhan? Bagaimana menentukan tolok ukur yang pasti untuk membuktikan perbedaan antara fenomena natural dengan fenomena supranatural?

Sisi lain dari burhan Swinburne adalah menempatkan mukjizat yang merupakan perbuatan Tuhan sebagai alat legitimasi untuk menegaskan sang pembawa mukjizat. Tetapi karena belum ada kejelasan hubungan kemestian antara mukjizat (dari sisi kekusaan dan kekuatan) dengan kebenaran pernyataan kenabiaan (dari sisi ilmu) – implikasi mukjizat dapat diletakkan sebagai legitimasi kenabiaan seseorang kalau diyakini bahwa perkara tersebut tidak akan jatuh ke tangan seorang pembohong yang mengaku Nabi – maka dari itu, burhan tersebut tidak bisa dijadikan sandaran akan implikasi mukjizat.

 

Hubungan Rasional antara Mukjizat dan Wahyu Menurut Pandangan Teolog Muslim   

Secara umum asumsi penerimaan atas implikasi mukjizat terhadap kenabian bergantung pada beberapa perkara dan pendahuluan yang disebutkan di bawah ini:

1. Menurut pandangan teolog mukjizat adalah perbuatan Tuhan sedangkan menurut perspektif filosof mukjizat merupakan akibat dari jiwa-jiwa suci para Nabi dan Rasul yang karena memiliki hubungan suci dan khusus dengan Sumber Segala Realitas kemudian mendapatkan kekuatan seperti itu;

2. Segala perbuatan Tuhan tidak lepas dari tujuan dan hikmah. Para teolog Muslim meyakini – selain teolog Asy’ariyah – bahwa segala perbuatan Tuhan niscaya dan mesti mengandung maksud dan tujuan;

3. Tujuan mukjizat – sebagaimana dipahami sebagai perbuatan Tuhan – adalah penegasan, penetapan dan pembenaran pernyataan kenabian;

4. Pemberian mukjizat kepada seorang pembohong yang mengaku sebagai Nabi dapat mengakibatkan kesesatan dan kebodohan;

5. Penyesatan dan pembodohan hamba-hamba Tuhan bertolak belakang dengan hikmah dan hidayah-Nya maka dari itu mustahil dilakukan oleh Tuhan.     

Pendahuluan kedua dan kelima ditolak oleh kaum Asy’ariyyah dan sebagian kritikan Fakhru Razi berkaitan dengan penolakan dua mukadimah di atas[6]. Para filosof, aliran teologi Syiah Imamiah dan Mu’tazilah menerima dua mukadimah tersebut dan berupaya mengkonstruksi argumentasi yang rasional dan logikal atasnya. Yang juga tidak kala pentingnya adalah membuktikan pendahuluan pertama dan ketiga , karena kalau kedua pendahuluan itu tidak ditetapkan dan dijabarkan maka tak akan terwujud kesesatan dan kebodohan di tengah umat manusia dari tangan para pembohong yang juga sesat dan bodoh yang menyatakan dirinya Nabi.

Mukadimah pertama, menurut Fakhru Razi, berkaitan dengan adanya suatu kemungkinan bahwa mukjizat dapat bersumber dari kekuatan jiwa sang pelaku mukjizat, efek dari benda-benda angkasa, pengaruh jin dan malaikat (oleh karena itu, dimensi kenabian mereka hanya dapat ditetapkan lewat teks-teks suci agama dan tidak dapat dikatakan bahwa perbuatan aneh yang diwujudkan adalah bentuk legitimasi khusus Tuhan atas kenabiaannya) dan bukan merupakan perbuatan Tuhan atau sebagai bentuk pengesahan dan legitimasi khusus dari-Nya.

Pendahuluan ketiga, yang juga menurut Fakhru Razi, tentang kemungkinan tujuan perwujudan mukjizat adalah menguji akal-akal para hamba-Nya dan menolak maksud mukjizat sebagai pembenaran pernyataan kenabian seseorang karena mukjizat itu sendiri tidak mempunyai keselarasan dengan pernyataan kenabian. Lebih lanjut ia beranggapan bahwa nilai argumentasi tentang kenabian lewat jalan mukjizat sama seperti seorang yang tidak makan selama dua puluh hari dan tetap hidup, perbuatan aneh orang tersebut lantas dijadikan dalil dan bukti bahwa ia niscaya mengetahui ilmu matematika atau ilmu lainnya.

Jawaban dari kritikan di atas adalah pertama, mukjizat merupakan bukti dan dalil hubungan sang pelaku mukjizat dengan alam gaib dan bukan petunjuk tentang kebenaran ajarannya, kedua mukjizat sebagai keterangan bahwa risalahnya dari sisi Tuhan dan Tuhan mewujudkan mukjizat lewat tangan ia sebagai pertanda legitimasi-Nya. Fakhru Razi menjawab persoalan tersebut dengan berkata, “Berdasarkan pandangan anda bahwa setiap orang yang mempunyai mukjizat adalah Nabi dan Rasul, sementara premis mayor yang bersifat universal itu tidak anda argumentasikan. Dengan pemisalan yang anda katakan tersebut bahwa mukjizat sebagai lencana dan tanda khusus raja dimana kalau seseorang memilikinya maka dapat dipastikan bahwa ia adalah utusan raja”[7].

Fakhru Razi dan Ibnu Rusyd keduanya menyanggah argumentasi tersebut, Ibnu Rusyd dalam hal ini berkata, “Pernyataan ini tidak dapat diterima, kecuali telah jelas bahwa setiap tanda dan alamat yang berada di tangannya adalah lencana raja dan hal ini menjadi mungkin dengan dua jalan, pertama raja telah berkata kepada masyarakat bahwa kalau kalian melihat orang yang membawa tanda dan alamat khusus saya maka ia adalah utusan saya, kedua mengenal kebiasaan-kebiasaan raja yaitu lencana khusus raja tidak mungkin berada di tangan seseorang kecuali ia adalah utusannya. Tetapi mengenal tanda dan alamat Tuhan mustahil dengan syariat, karena syariat itu sendiri belum ditetapkan dan juga akal secara pasti tidak dapat menghukumi bahwa nabi dan rasul mempunyai lencana khusus kecuali sebelumnya ia beberapa kali menyaksikan orang-orang yang mengaku nabi dan rasul menampakkan bukti dan petunjuk khusus tersebut.[8]

Apakah dengan keberadaan kritikan-kritikan tersebut di atas yang berhubungan dengan pendahuluan pertama, ketiga dan keempat kita masih dapat menyatakan bahwa mukjizat bisa terwujud dari tangan seorang pembohong yang sesat dan bodoh? Persoalan ini dapat diselesaikan dengan beberapa bentuk jawaban, antara lain:

1. Terdapat hubungan rasional antara kemampuan mukjizat dan pencapaian langsung makrifat-makrifat Tuhan (wahyu) tanpa terdapat kesalahan (keliru dan lupa) dimana hubungan rasional itu adalah pencapaian derajat kenabian merupakan suatu perkara yang ajaib dan kemampuan mukjizat juga sama dengan pencapaian derajat kenabian yang merupakan hal yang istimewa dimana keduanya mustahil diraih tanpa ijin, kehendak dan iradah Tuhan. Pencapaian derajat kenabian dan kemampuan mukjizat mengharuskan adanya kesucian ruh dan jiwa, karena kesucian jiwa di dalam ilmu hudhuri menyebabkan hadirnya makrifat-makrifat gaib yang benar dan munculnya kemampuan penguasaan dan pengaturan terhadap segala realitas makhluk hidup di alam. Maka dari itu, mukjizat merupakan suatu tanda dan alamat akan  kebenaran pernyataan kenabian[9].         

Argumentasi tersebut memerlukan penjelasan yang cukup dalam dua perkara:

Pertama, kemampuan menghadirkan mukjizat, seperti mengubah tongkat menjadi ular secara nyata merupakan perbuatan yang ajaib, mengikuti suatu sebab yang tidak diketahui dan tidak diperoleh dari proses belajar dan juga tidak dapat diajarkan kepada seseorang, oleh karena itu dibandingkan dengan perbuatan ajaib yang lain (selain mukjizat, seperti sihir dan lain-lain) perbuatan aneh tersebut sangat berhubungan erat dengan kesucian ruh dan jiwa sang pelaku mukjizat (dimana kesucian tersebut juga merupakan syarat wajib atas kenabian). Manusia yang telah mencapai derajat yang tinggi dalam kesucian jiwa secara langsung mendapatkan makrifat-makrifat gaib dan bersamaan dengan itu ia memperoleh (dengan ijin dan kehendak Tuhan) kekuatan dan kekuasaan dalam mengatur segala alam. Tetapi bagaimana dapat diyakini bahwa perbuatan ajaib tersebut bersumber dari suatu sebab yang tidak diketahui dan juga tidak berasal dari proses belajar mengajar sehingga tidak terpancar dari selain manusia yang mencapai derajat kesucian jiwa tersebut? Jawaban dari persoalan tersebut adalah tolok ukur penetapannya berada di pundak para ahli yang bergelut dalam bidang ilmu yang mirip dengan mukjizat dan ruang lingkup penentuannya adalah estimasi dan perkiraan (al-hads)[10] yang kuat dimana mempunyai kelayakan dalam perumusan proposisi suatu burhan dan argumen, tetapi jenis proposisi tersebut adalah premis intuitif (al-hadsiyâh)[11] dan bukan proposisi axioma (al-awwaliyâh, axioms, primary premises)[12][13], premis intuitif di sini menurut para ahli logika dan filosof, sedangkan menurut Ibnu Sina proposisi tersebut digolongkan ke dalam premis empiris (al-mujarrabâh, empirical premises)[14][15].

Nilai validitas mujarrabat dan kesetaraannya dengan mutawatirat dan hadsiyat dalam epistimologi ahli logika dan filosof Muslim bersandar pada penyelesaian induksi (istiqra) dimana dalam cara tersebut di ketahui dengan penyaksian berulang kebersamaan dua fenomena yang berpijak pada hubungan keniscayaan dan universal dua realitas, dengan ungkapan lain terungkap dari kebersamaan berulang dua fenomena dimana hakikat benda A mempunyai kekhususan benda B.

Kedua, kemampuan mukjizat yang diasumsikan bersumber dari kesucian jiwa dan faktor tak dikenal, dan kita menetapkan juga hubungan antara peristiwa khusus yang disebut mukjizat dengan kesucian jiwa yang mewujudkan mukjizat tersebut tetapi kita tidak yakin dapat membuktikan kenabian pelaku mukjizat tersebut tanpa berpijak pada nilai keburukan kebohongan dan kesesatan, pertama, sebab terdapat kemungkinan bahwa kesucian jiwa yang dapat melahirkan kemampuan penguasaan terhadap alam merupakan syarat primer dan bukan syarat sekunder karena ada kemungkinan kedua perbuatan istimewa (kemampuan mukjizat dan penerimaan wahyu) tersebut tidak berada pada satu tingkatan dan derajat, dimensi kenabian sebagai faktor kelayakan perwujudan dua realitas perbuatan tersebut. Kita tidak dapat katakan bahwa pernyataan kenabian seseorang adalah bohong dan dusta karena sifat bohong dan dusta – berdasarkan hukum akhlak –  tidak sesuai dengan kesempurnaan dan kesucian jiwa, tetapi juga tidak dapat menafikan adanya kemungkinan kesalahan seorang Nabi itu dimana kita menginginkan kenabiannya itu ditegaskan lewat jalan mukjizat atau minimal ditetapkan dengan penafsiran atas pengalaman-pengalaman mistiknya. Kedua, kalau kedua kemampuan tersebut (kemampuan mukjizat dan penerimaan wahyu) berada pada tingkatan yang sama lantas bagaimana kita dapat memahami bahwa dalam perwujudan keduanya juga terdapat hubungan yang saling niscaya dan mesti tanpa berpijak kepada keburukan kebohongan (tak sesuai dengan kesucian jiwa), kebodohan dan kesesatan?  Oleh karena itu, argumentasi tersebut memerlukan pijakan dan sandaran kepada keburukan kebohongan, kebodohan dan kesesatan.

 

2. Tuhan mustahil memberikan kemampuan dan kekuatan dalam penguasaan sebagian alam kepada pembohong-pembohong, karena akan menyebabkan kebodohan dan kesesatan yang semuanya itu bertolak belakang dengan hikmah dan keadilan Tuhan. Untuk menguatkan landasan argumentasi tersebut, disamping berpijak pada mukjizat dan hikmah juga bersandar pada suatu penantangan dan pernyataan kenabian, yakni seorang yang mengaku Nabi mesti membuktikan pengakuannya dengan mukjizat dan menantang kepada semua manusia untuk melakukan hal yang sama.

Argumen tersebut bersandar pada satu kaidah akal tentang keburukan kebodohan. Menurut Muhammad Baqir Sadr argumen tersebut sarat dengan kritikan. Ia berkata, “Implikasi mukjizat terhadap kenabian tak dapat berpijak pada hukum rasional tentang keburukan kebohongan dan kebodohan, karena dalam hal ini – walaupun kaidah akal tersebut diterima oleh semua kalangan – mukjizat tidak dapat menjadi dalil atas kenabian pelaku mukjizat, lagi pula premis mayor yang bersifat universal (kebodohan adalah suatu keburukan) tidak ditentukan individu-individunya di alam nyata, oleh karena itu individu-individunya mesti terwujud di alam luar dengan tidak memperhatikan penyandarannya kepada premis mayor tersebut. Tetapi dalam argumen itu tidak diungkapkan bahwa mukjizat menyebabkan kebodohan – dengan tidak bersandar pada kaidah tersebut – karena di dalamnya tela diasumsikan bahwa mukjizat – tanpa menambahkan premis mayor tersebut – tidak berimplikasi terhadap kenabian pelaku mukjizat. Maka dari itu, kebergantungan implikasi mukjizat terhadap kenabian kepada premis mayor universal (keburukan kebodohan dan kebohongan) menyebabkan terjadinya daur[16], karena pada satu sisi, keaktualan premis mayor rasional (keburukan kebodohan) bergantung pada implikasi mukjizat terhadap kenabian dan pada sisi yang lain implikasi mukjizat bersandar pada premis mayor rasional (keburukan kebodohan).

Syahid Muhammad Baqir Sadr (qs) berupaya dalam merumuskan suatu penjabaran tanpa sarat kritikan terhadap argumentasi tersebut. Ia berkata, “Walaupun mukjizat secara hakiki – tanpa berpijak pada premis mayor universal tentang keburukan kebodohan – tidak dapat berimplikasi terhadap kenabian, tetapi bersandar pada pemahaman mayoritas masyarakat terdapat adanya implikasi terhadap kenabian dan kenyataan ini adalah bukti keberadaan individu keburukan kebodohan tersebut dan kebodohan itu adalah buruk dan berlawanan dengan hikmah Ilahi, dengan demikian kita dapat menyatakan bahwa mukjizat mempunyai argumentasi rasional terhadap kenabian.[17]

      

Implikasi Mukjizat Terhadap Eksistensi Tuhan

Para teolog Barat merumuskan suatu argumentasi tentang keberadaan Tuhan dengan perantaraan mukjizat dan mereka berkata bahwa banyak mukjizat terjadi di zaman-zaman yang berbeda dan terjadinya mukjizat-mukjizat tersebut tidak dapat dijelaskan dan dipahami tanpa campur tangan dan pengaruh Tuhan dalam sistem tatanan alami peristiwa-peristiwa alam. Oleh karena itu, kejadian dan peristiwa mukjizat dapat menegaskan dan membuktikan eksistensi Tuhan.

Kritikan yang paling mendasar terhadap burhan tersebut di atas adalah bagaimana kita dapat mengetahui bahwa kejadian dan peristiwa semacam itu yang dinamakan mukjizat tidak dapat dijabarkan secara ilmiah dan berdasarkan hukum alam? Pembuktian keberadaan Tuhan dengan pendekatan mukjizat konsekuensinya adalah sebelumnya harus dipastikan bahwa mukjizat-mukjizat tersebut tidak dapat diuraikan secara ilmiah dan hukum alam, karena dalam hal ini tidak dapat berargumentasi dengan bersandar pada hikmah Tuhan.

Richard Swinburne berusaha menjabarkan secara sempurna burhan tersebut, ia berkata, “Mukjizat suatu peristiwa yang bertolak belakang dengan hukum alam dan karena pertentangannya dengan hukum alam itulah sehingga dapat dibuktikan eksistensi Tuhan”[18]. Tetapi bagaimana metode  meyakinkan seorang yang tidak mengakui keberadaan Tuhan (ateis) bahwa mukjizat tersebut adalah perbuatan Tuhan sehingga Tuhan niscaya berwujud, Swinburne mengungkapkan dua kekhususan pada mukjizat: Pertama, hadirnya pertentangan dengan hukum alam dalam kasus mukjizat memiliki banyak keserupaan dengan perbuatan manusia (sebagai pelaku yang cerdas) sedemikian sehingga hal itu dapat dijelaskan berdasarkan suatu tujuan yang diinginkan dari perbuatan tersebut. Kedua, perbuatan dan peristiwa itu sendiri sedemikian sempurna dan ajaibnya sehingga tidak dapat dipahami tanpa mengasumsikan pelaku yang berilmu dan sifat-sifat sempurna dimana Tuhan dapat dikenal dengan perantaraan sifat-sifat sempurna tersebut.[19]

Kalau kita ingin menganalisa argumentasi tersebut di atas dari sudut pandang teolog Muslim maka tanpa pembatalan daur dan tasalsul[20] kita tidak dapat menegaskan eksistensi Tuhan itu dengan berpijak pada sifat-sifat sempurna pelaku, penyandaran argumen pada sifat-sifat sempurna pelaku hanya bisa menetapkan keberadaan pelaku tersebut di alam supnatural.

Argumen mukjizat di atas tidak memiliki kelayakan kalau tidak disandarkan kepada sebagian burhan-burhan rasional seperti argumen imkan dan wujub, dan argumen mukjizat tersebut sarat dengan kritikan, di antaranya:

  1. Seseorang yang tidak menguji dan menganalisa peristiwa-peristiwa ajaib itu dan pengalaman-pengalaman yang berkaitan dengan kejadian-kejadian tersebut tidak disampaikan dan diriwayatkan dalam bentuk yang jelas dan mudah diyakini maka orang dapat meragukan peristiwa-peristiwa ajaib itu sendiri;
  2. Kalaupun peristiwa-peristiwa ajaib tersebut dapat diterima, tapi penyandaran dan penisbahannya kepada Tuhan serta pembuktian eksistensi Tuhan dapat memunculkan keraguan, karena penisbahan perkara tersebut kepada Tuhan hanya bisa diterima dengan syarat-syarat: pertama, menerima teori kausalitas (sebab-akibat) dan peristiwa-peristiwa ajaib tersebut (mukjizat) diposisikan sebagai akibat dari satu sebab (baca: Tuhan), kedua, harus ada pemetaan yang jelas dari keseluruhan sebab-sebab natural dan non-natural yang dapat mewujudkan kejadian-kejadian tersebut dan ketiga, segala sebab-sebab yang tergambarkan tersebut harus ditiadakan selain sebab Ilahi.[21]

       

 

 

                           

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


[1] . Hume, David, Darborey-e Mukjizat (Tanaqudh Nemo Yo Ghaib Nemun), hal. 403. 

[2] . Swinburne, Richard, Miracles and Revelation, hal. 299.

[3] . Ibid.

[4] . Legenhausen, Muhammad, The Contemporary Revival of the Philosophy of Religion in the United States, Al-Tawhid Quarterly Journal of Islamic Tought and Culture, vol. XII, no. 1, hal. 131-132.

[5] . Swinburne, Richard, Miracles and Revelation, hal. 302-306.

[6] . Thusi, Khawjah Nashiruddin, Talkhis al-Mukhashshal, hal. 94.

[7] . Thusi, Khawjah Nashiruddin, Talkhis al-Mukhashshal, hal 94.

[8] . Ibrahim Dinany, Gulam Muhsin, Mantiq wa Ma’rifat dar Nazar-e Gazali, hal. 94.

[9] . Thabathabai, Sayyid Muhammad Husain, al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an, jilid 1, hal. 82-85.

[10] . Kecepatan pikiran dalam menarik suatu kesimpulan yang benar.

[11] . Proposisi ini merupakan salah satu dari keenam proposisi yang diyakini, jenis proposisi ini bersumber dari estimasi yang diyakini dan diketahui oleh manusia, seperti cahaya bulan berasal dari matahari.

[12] . Suatu proposisi universal yang secara otomatik menjadi jelas dan gamblang dan tidak memerlukan pembuktian lagi (badihi atau swa-bukti), seperti kemustahilan berkumpulnya hal-hal yang kontradiksi.

[13] . Jawadi Amuli, Abdullah, Pairamun Wahy wa Rahbary, hal. 84.

[14] . Proposisi yang dihasilkan dari pengalaman-pengalaman dan proposisi ini memberikan keyakinan, maka dari itu layak menjadi argumen dan dalil.

[15] . Abu Ali SIna, al-Isyarat wa at-Tanbihat, jilid pertama, hal. 218.

[16] . Daur adalah A bergantung kepada B, dan B juga bergantung pada A. Dalam filsafat daur seperti ini adalah batal.

[17] . Hasyemi, Sayyid Mahmud, Buhuts fi ‘Ilm al-Ushul, jilid 4, hal, 135-136.

[18] . Swinburne, Richard, Miracles and Revelation in Philosophy of Religion An Anthology, hal. 303.

[19] . Swinburne, Richard, Miracles and Revelation in Philosophy of Religion an Anthology, hal. 306.

[20] . Kedua istilah ini telah kami jelaskan secara luas dalam makalah kami yang berjudul argumen imkan dan wujub.

[21] . Jawadi Amuli, Abdullah, Tabyin-e Barohin-e Khudo, hal. 247-248.

4 komentar di “Eksistensi Tuhan dan Fenomena Mukjizat [Terakhir]

    • Saya justru berterima kasih kepada Anda karena telah membantu menyebarkan ilmu dan pengetahuan untuk kepentingan manusia.

Tinggalkan Balasan ke teosophy Batalkan balasan